Sunday, July 8, 2018

SITUASI PENDIDIKAN DI TAMBRAUW


SITUASI PENDIDIKAN DI TAMBRAUW
Oleh, Juzak. J. Sundoy
Masih teramat banyak, mereka yang mengeluhkan mengenai mutu pendidikan di negeri ini, terutama mengenai mutu pendidikan sekolah (pendidikan formal). Ada yang mengkritisi dari segi sistem evaluasi, masalah guru, hingga secara ekstrim mempermasalahkan manfaat yang sesungguhnya dari bersekolah, yang kemudian memunculkan pertanyaan superlatif, “masih perlukah bersekolah ?”.
Sejumlah komentar, kritik atau pertanyaan yang menggelitik mengenai pendidikan sekolah tersebut adalah amat wajar mengemuka. Pertanyaannya, mengapa hal ini semua bisa terus terjadi ? Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Tambrauw, sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan di Daerah ini sudah tentu telah melakukan berbagai hal untuk mengatasi sejumlah masalah pendidikan sekolah. Pertanyaannya, mengapa masalah tersebut senantiasa muncul dan bersifat klise, serta oleh sebagian masyarakat dianggap belum mengalami perubahan secara signifikan ?
selama 16 tahun saya ada di daerah Tambrauw, dan banyak sekali hal-hal yang saya temui di sana banyak sekali masalah-masalah yang dianggap sangat sulit untuk mendapat solusi seperti masalah sosial,ekonomi, kesehatan dan yang paling meresahkan adalah masalah Pendidikan. Daerah Tambrauw memiliki potensi sumber daya alam yang sangat melimpah, namun masyarakatnya miskin karena masalah pendidikan. Sulit sekali untuk saya mengatakan, siapa sebenarnya yang salah apakah pemerintah atau masyarakat itu sendiri.

Ada beberapa kenyataan yang saya temui berkaitan dengan masalah pendidikan. Pemerintah kabupaten Tambrauw sudah berupaya untuk membangun gedung sekolah di beberapa kampung yang bisa dijangakau dengan transportasi darat maupun laut, terutama kampung-kampung yang ada di pesisir seperti sausapor, werur, werbes, hopmarei, kwor, saubeba, warmandi, wau dan waubem. Kampung-kampung ini sudah ada sekolah terutama sekolah dasar. Sayang sekali sekolah yang memiliki gedung yang mewah dengan lantai yang menggunakan tehel (keramik) gedung yang berkapisitas 3 dan 6 ruangan belajar, dengan dukungan dan partisipasi masyarakat untuk pembangunan dengan melepaskan lahan untuk pembangunan gedung sekolah dan juga menyiapkan anak-anaknya untuk siap mengikuti pendidikan, namun sayang sekali banyak guru-guru yang tidak bisa bertahan lama untuk tinggal kampong. Kadang datang sekali dalam 1 bulan mengajar 1 minggu dan balik lagi ke kota. Ada juga yang 3 bulan di kota dating 3 hari mengajar kemudian balik lagi ke kota ada yang 6 bulan sampai 1 tahun, dating mengajar 1 minggu atau melakukan ulangan atau ujian kemudian balik lagi ke sorong. Dan ini di lakukan selama Tambrauw belum pemekaran dan sampai pemekaran dan sekarang sudah kabupaten defenitif masih saja terus terjadi hingga sekarang.

Dari beberapa dampak masalah yang kami maksud diatas, maka muncul pertanyaan, kalau kampung-kampung yang sudah ada sekolah seja siswanya sampai kelas 6 mereka belum mampu membaca dan menulis dengan baik. Bagaimana dengan kampung-kampung yang belum ada sekolah dan bagimana dengan anak-anak mereka yang. Hal ini sering menjadi pertanyaan, sebab Tambrauw memiliki darah yang sangat luas dan memiliki banyak kampung-kampung di pedalam tambrauw yang sulit di jangkau.

Contoh kasus, ;
Ada beberapa anak-anak (usia sekolah) dari kampung Batde, krisnos, kyosefo dan jokbi joker pedalaman Tambrauw, mereka datang ke ibu kota distrik sausapor, untuk menjual burung nuri yang merupakan hasil buruan mereka. Perjalanan yang di tempuh selama 3 hari 3 malam dengan berjalan kaki. Mereka tiba di sausapor siang hari, dan mereka langsung menjual hasil buruan mereka kepada para pedagang sambil berbelanja kebutuhan mereka, Setelah berbelanja mereka memilih untuk berjalan-jalan sambil melihat kendaraan yang lalu-lalang seperti motor dan mobil. Sambil berjalan mereka sempat melihat ada gedung panjang yang terketak dipinggir jalan (sekitar 10 m dari pinggiran jalan) dan mereka melihat ada banyak sekali  anak-anak yang memakai pakaian merah putih sambil bermain di halaman gedung dan lama sekali mereka melihatnya. Untuk lebih jelas mereka mendekat dan melihat secara dekat apa sebenarnya yang dilakukan dan kenapa mereka berpakaian yang sama (seragam). Supaya tidak di curigai mereka melihat ada pohon mangga yang rindang dekat sekolah, mereka mendekati pohon itu lalu duduk dan melihat secara dekat aktifitas yang dilakukan. sambil duduk mereka melihat anak-anak sekolah ada yang bermain dan ada yang sementara belajar di ruang kelas. Mereka saling berkomunikasi dengan menggunakan bahsa daerah (Abun) karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Lama sekali mereka berada disitu.
Mereka kemudian kembali kekampung sambil berdiskusi di jalan dan mereka saling bertanya-tanya, kapan kita juga bisa berpakaian dan bermain-main seperti mereka. Dengan rasa suka cita dan tawa mereka kembali kekampung halaman tanpa memikir bagaimana dengan masa depan mereka.

Dengan melhat kondisi ini kami berusaha untuk datang ke beberapa kampung untuk melihat secara dekat apa yang menjadi masalah dengan pendidikan, dan kenapa guru-guru tidak bisa menetap di kampung.

Ada beberapa kegitan anak-anak yang sangat menarik, yaitu mereka belajar dengan cara mereka sendiri yaitu beajar sesuai dengan kondisi alam sekitar mereka. Ada yang pergi berburu dengan membuat jerat untuk menangkap tikus tanah ada yang berburu dengan mengunakan busur dan anak panah. Tetapi ada juga yang pergi mencari ikan di laut dan juga di sungai. Aktifitas ini mereka lakukan selama sehari, dan setiap hari itu yang menjadi kegiatan mereka, sebab guru emetara tidak ada. Selama kurang lebih 8 bulan tidak ada aktifitas belajar.
Saya mendekati anak-anak itu dan bertanya, kenapa tidak ke sekolah, dengan serentak mereka menjawab pak guru masih di kota belum dating. Saya bertanya lagi ada berapa guru di sini mereka menjawa ada 4 tapi semua ada di kota, kapan mereka dating, mereka jawab tidak tahu, baru kamu belajar bagaimana? Kami tidak belajar di sekolah jadi kami hanya bisa bermain dengan membuat jerat dan mincing di laut. Saya bertanya lagi kalau kamu ulangan dan ujian bagaimana? Mereka jawab nanti sudah dekat ulangan atau ujian baru guru datang kasih ujian dan ulangan.

Saya tidak bisa bertanya yang selanjutnya karena mereka pasti merasa kecewa karena mereka mau belajar tetapi gurunya tidak ada, walaupun demikian mereka ceria sekali karena dikampung mereka banyak sekali kegiatan yang membuat mereka tidak memikirkan sekolah sebab mereka berburu dan mincing mereka mendapatkan hasil untuk makan bersama-sama.

Saya melihat masyarakat di kampung selalu menjadikan tarian sebagai srana perkumpulan dan berekspresi apbila ada pesta atau upaca adat maka mereka sering melakaukan tarian adat mereka.

Dari kegiatan-kegiatan ini saya mencoba mengajak anak-anak mereka untuk melakukan apa yang sering mereka lakukan di kampung terutama tarian (budaya). Saya sengaja mengajak anak-anak kususnya anak-anak usia 3 – 15 tahun untuk berkumpul di bawah sebuah pohon rindang sambil mengajak mereka untuk bercerita dengan memilih topik, kondisi di masa lalu.

Dulu orang tua (tetemoyang) kita hidup di hutan belantara ini mereka tidak berpakaian seperti kita disaat ini dan mereka hanya menggunakan daun dan kulit kayu sebagai pakaian, dan apabila ada yang membawa sepotong kain mereka tukar dengan burung cenderawasih dan getah dammar dan mereka menjadikan sebagai cawat. waktu dulu belum ada mobil, motor laut juga darat dan udara dan mereka merantau di hutan ini sambil mencari hasil hutan sebagai makanan tanpa mereka merasakan kesusuhan sebab alam menyediakan semua untuk mereka ambil dan makan dan mereka bertahan dan hidup sambil beranak cucu sampa kita bisa ada saat ini.

Mereka dulu takut kalau ada bunyi-bunyi seperti kapal atau pesawat, karena mereka takut dan berlari ke hutan. Saya sengaja menggunakan gaya lari dengan gaya gerak tari, sambil bertanya kamu bisa melakukan gaya ini kaah? Mereka jawab bisa, kemudian saya minta untuk mereka berbaris dan mencoba melakukan ternyata mereka sudah terbiasa, kemudian saya melanjutkan cerita, mereka berlari ada yang lari ke hutan tetapi ada juga yang lari ke pantai, dan setelah mereka tiba di pantai mereka melihat ada perahu besar, maka mereka mendorong perahu itu ke laut sambil dayung dan saya melakukan gerak dayung dan mengajak mereka untuk melakukan ternyata mereka bisa melakukan, kemudian saya minta mereka untuk membuat lingkaran dan melanjutkan cerita. Sementara mereka dayung mereka melihat kedarat tenyata ada perang suku yang terjadi, maka dengan cepet mereka mendaratkan perahu dan kaum perempuan mencari tempat untuk bersembunyi sedangkan laki-laki mengambil panah dan busur dan ikut dalam perang tersebut, gaya brsebunyi dan memanah, kemuadian saya mencoba melakukan dengan gaya gerak kemudian mengajak mereka untuk ikut melakukan ternyata mereka bisa melakukan. Kemudian cerita dilanjutkan, setelah berperang mereka kembali berkumpul dan berdikusi bagaimana mencari makanan, kemudian mereka kehutan untuk mencari umbi-umbian dan mereka menemukan dusun keladi dan mereka mencabut dengan mengunakan gaya gerak mencabut keladi, setela itu mereka ke sungai dan menangkap ikan dan udang dengan menggunakan gerak menangkap ikan dan udang sambil metong/ membersihkan jalan dan dengan suka cita mereka menjalani kehidupan yang penuh dengan rasa kekeluargaan dan harmonis yang terjalin hingga saat ini.

Dari hasil cerita dan gerak gaya yang dilakukan untuk mencari bagaimana cara untuk mendidikan anak-anak papua yang yang hidup di hutan belantara yang jauh dan sulit untuk di jangkau, walaupun mereka akan sulit untuk bisa membaca dan menulis, tetapi kegiatan yang mengajak untuk mereka bisa mengenal tulisan dn angka adalah sangat penting, sebab dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti inilah mereka akan suka untuk belajar.


Salam hormat


Juzak. J. Sundoy



 

No comments:

Post a Comment