SITUASI PENDIDIKAN DI TAMBRAUW
Oleh, Juzak. J. Sundoy
Masih teramat banyak, mereka yang mengeluhkan mengenai mutu
pendidikan di negeri ini, terutama mengenai mutu pendidikan sekolah (pendidikan
formal). Ada yang mengkritisi dari segi sistem evaluasi, masalah guru, hingga
secara ekstrim mempermasalahkan manfaat yang sesungguhnya dari bersekolah, yang
kemudian memunculkan pertanyaan superlatif, “masih perlukah bersekolah ?”.
Sejumlah komentar, kritik atau pertanyaan yang menggelitik
mengenai pendidikan sekolah tersebut adalah amat wajar mengemuka.
Pertanyaannya, mengapa hal ini semua bisa terus terjadi ? Dinas Pendidikan dan
Pengajaran Kabupaten Tambrauw, sebagai penanggung jawab penyelenggaraan
pendidikan di Daerah ini sudah tentu telah melakukan berbagai hal untuk
mengatasi sejumlah masalah pendidikan sekolah. Pertanyaannya, mengapa masalah
tersebut senantiasa muncul dan bersifat klise, serta oleh sebagian masyarakat
dianggap belum mengalami perubahan secara signifikan ?
selama 16
tahun saya ada di daerah Tambrauw, dan banyak sekali hal-hal yang saya temui di
sana banyak sekali masalah-masalah yang dianggap sangat sulit untuk mendapat
solusi seperti masalah sosial,ekonomi, kesehatan dan yang paling meresahkan
adalah masalah Pendidikan. Daerah Tambrauw memiliki potensi sumber daya alam
yang sangat melimpah, namun masyarakatnya miskin karena masalah pendidikan.
Sulit sekali untuk saya mengatakan, siapa sebenarnya yang salah apakah
pemerintah atau masyarakat itu sendiri.
Ada beberapa
kenyataan yang saya temui berkaitan dengan masalah pendidikan. Pemerintah
kabupaten Tambrauw sudah berupaya untuk membangun gedung sekolah di beberapa
kampung yang bisa dijangakau dengan transportasi darat maupun laut, terutama
kampung-kampung yang ada di pesisir seperti sausapor, werur, werbes, hopmarei,
kwor, saubeba, warmandi, wau dan waubem. Kampung-kampung ini sudah ada sekolah
terutama sekolah dasar. Sayang sekali sekolah yang memiliki gedung yang mewah
dengan lantai yang menggunakan tehel (keramik) gedung yang berkapisitas 3 dan 6
ruangan belajar, dengan dukungan dan partisipasi masyarakat untuk pembangunan
dengan melepaskan lahan untuk pembangunan gedung sekolah dan juga menyiapkan
anak-anaknya untuk siap mengikuti pendidikan, namun sayang sekali banyak
guru-guru yang tidak bisa bertahan lama untuk tinggal kampong. Kadang datang sekali
dalam 1 bulan mengajar 1 minggu dan balik lagi ke kota. Ada juga yang 3 bulan
di kota dating 3 hari mengajar kemudian balik lagi ke kota ada yang 6 bulan
sampai 1 tahun, dating mengajar 1 minggu atau melakukan ulangan atau ujian
kemudian balik lagi ke sorong. Dan ini di lakukan selama Tambrauw belum
pemekaran dan sampai pemekaran dan sekarang sudah kabupaten defenitif masih
saja terus terjadi hingga sekarang.
Dari beberapa
dampak masalah yang kami maksud diatas, maka muncul pertanyaan, kalau kampung-kampung
yang sudah ada sekolah seja siswanya sampai kelas 6 mereka belum mampu membaca
dan menulis dengan baik. Bagaimana dengan kampung-kampung yang belum ada
sekolah dan bagimana dengan anak-anak mereka yang. Hal ini sering menjadi
pertanyaan, sebab Tambrauw memiliki darah yang sangat luas dan memiliki banyak
kampung-kampung di pedalam tambrauw yang sulit di jangkau.
Contoh kasus, ;
Ada
beberapa anak-anak (usia sekolah) dari kampung Batde, krisnos, kyosefo dan
jokbi joker pedalaman Tambrauw, mereka datang ke ibu kota distrik sausapor,
untuk menjual burung nuri yang merupakan hasil buruan mereka. Perjalanan yang
di tempuh selama 3 hari 3 malam dengan berjalan kaki. Mereka tiba di sausapor
siang hari, dan mereka langsung menjual hasil buruan mereka kepada para
pedagang sambil berbelanja kebutuhan mereka, Setelah berbelanja mereka memilih
untuk berjalan-jalan sambil melihat kendaraan yang lalu-lalang seperti motor
dan mobil. Sambil berjalan mereka sempat melihat ada gedung panjang yang
terketak dipinggir jalan (sekitar 10 m dari pinggiran jalan) dan mereka melihat
ada banyak sekali anak-anak yang memakai
pakaian merah putih sambil bermain di halaman gedung dan lama sekali mereka
melihatnya. Untuk lebih jelas mereka mendekat dan melihat secara dekat apa
sebenarnya yang dilakukan dan kenapa mereka berpakaian yang sama (seragam).
Supaya tidak di curigai mereka melihat ada pohon mangga yang rindang dekat
sekolah, mereka mendekati pohon itu lalu duduk dan melihat secara dekat
aktifitas yang dilakukan. sambil duduk mereka melihat anak-anak sekolah ada
yang bermain dan ada yang sementara belajar di ruang kelas. Mereka saling
berkomunikasi dengan menggunakan bahsa daerah (Abun) karena mereka tidak bisa
berbahasa Indonesia. Lama sekali mereka berada disitu.
Mereka
kemudian kembali kekampung sambil berdiskusi di jalan dan mereka saling
bertanya-tanya, kapan kita juga bisa berpakaian dan bermain-main seperti
mereka. Dengan rasa suka cita dan tawa mereka kembali kekampung halaman tanpa
memikir bagaimana dengan masa depan mereka.
Dengan melhat
kondisi ini kami berusaha untuk datang ke beberapa kampung untuk melihat secara
dekat apa yang menjadi masalah dengan pendidikan, dan kenapa guru-guru tidak
bisa menetap di kampung.
Ada beberapa
kegitan anak-anak yang sangat menarik, yaitu mereka belajar dengan cara mereka
sendiri yaitu beajar sesuai dengan kondisi alam sekitar mereka. Ada yang pergi
berburu dengan membuat jerat untuk menangkap tikus tanah ada yang berburu
dengan mengunakan busur dan anak panah. Tetapi ada juga yang pergi mencari ikan
di laut dan juga di sungai. Aktifitas ini mereka lakukan selama sehari, dan
setiap hari itu yang menjadi kegiatan mereka, sebab guru emetara tidak ada.
Selama kurang lebih 8 bulan tidak ada aktifitas belajar.
Saya mendekati
anak-anak itu dan bertanya, kenapa tidak ke sekolah, dengan serentak mereka
menjawab pak guru masih di kota belum dating. Saya bertanya lagi ada berapa
guru di sini mereka menjawa ada 4 tapi semua ada di kota, kapan mereka dating,
mereka jawab tidak tahu, baru kamu belajar bagaimana? Kami tidak belajar di
sekolah jadi kami hanya bisa bermain dengan membuat jerat dan mincing di laut.
Saya bertanya lagi kalau kamu ulangan dan ujian bagaimana? Mereka jawab nanti
sudah dekat ulangan atau ujian baru guru datang kasih ujian dan ulangan.
Saya tidak
bisa bertanya yang selanjutnya karena mereka pasti merasa kecewa karena mereka
mau belajar tetapi gurunya tidak ada, walaupun demikian mereka ceria sekali
karena dikampung mereka banyak sekali kegiatan yang membuat mereka tidak
memikirkan sekolah sebab mereka berburu dan mincing mereka mendapatkan hasil
untuk makan bersama-sama.
Saya melihat
masyarakat di kampung selalu menjadikan tarian sebagai srana perkumpulan dan
berekspresi apbila ada pesta atau upaca adat maka mereka sering melakaukan
tarian adat mereka.
Dari
kegiatan-kegiatan ini saya mencoba mengajak anak-anak mereka untuk melakukan
apa yang sering mereka lakukan di kampung terutama tarian (budaya). Saya
sengaja mengajak anak-anak kususnya anak-anak usia 3 – 15 tahun untuk berkumpul
di bawah sebuah pohon rindang sambil mengajak mereka untuk bercerita dengan
memilih topik, kondisi di masa lalu.
Dulu orang tua
(tetemoyang) kita hidup di hutan belantara ini mereka tidak berpakaian seperti
kita disaat ini dan mereka hanya menggunakan daun dan kulit kayu sebagai
pakaian, dan apabila ada yang membawa sepotong kain mereka tukar dengan burung
cenderawasih dan getah dammar dan mereka menjadikan sebagai cawat. waktu dulu
belum ada mobil, motor laut juga darat dan udara dan mereka merantau di hutan
ini sambil mencari hasil hutan sebagai makanan tanpa mereka merasakan kesusuhan
sebab alam menyediakan semua untuk mereka ambil dan makan dan mereka bertahan
dan hidup sambil beranak cucu sampa kita bisa ada saat ini.
Mereka dulu
takut kalau ada bunyi-bunyi seperti kapal atau pesawat, karena mereka takut dan
berlari ke hutan. Saya sengaja menggunakan gaya lari dengan gaya gerak tari,
sambil bertanya kamu bisa melakukan gaya ini kaah? Mereka jawab bisa, kemudian
saya minta untuk mereka berbaris dan mencoba melakukan ternyata mereka sudah
terbiasa, kemudian saya melanjutkan cerita, mereka berlari ada yang lari ke
hutan tetapi ada juga yang lari ke pantai, dan setelah mereka tiba di pantai
mereka melihat ada perahu besar, maka mereka mendorong perahu itu ke laut
sambil dayung dan saya melakukan gerak dayung dan mengajak mereka untuk
melakukan ternyata mereka bisa melakukan, kemudian saya minta mereka untuk
membuat lingkaran dan melanjutkan cerita. Sementara mereka dayung mereka
melihat kedarat tenyata ada perang suku yang terjadi, maka dengan cepet mereka
mendaratkan perahu dan kaum perempuan mencari tempat untuk bersembunyi
sedangkan laki-laki mengambil panah dan busur dan ikut dalam perang tersebut,
gaya brsebunyi dan memanah, kemuadian saya mencoba melakukan dengan gaya gerak
kemudian mengajak mereka untuk ikut melakukan ternyata mereka bisa melakukan.
Kemudian cerita dilanjutkan, setelah berperang mereka kembali berkumpul dan
berdikusi bagaimana mencari makanan, kemudian mereka kehutan untuk mencari
umbi-umbian dan mereka menemukan dusun keladi dan mereka mencabut dengan
mengunakan gaya gerak mencabut keladi, setela itu mereka ke sungai dan
menangkap ikan dan udang dengan menggunakan gerak menangkap ikan dan udang
sambil metong/ membersihkan jalan dan dengan suka cita mereka menjalani
kehidupan yang penuh dengan rasa kekeluargaan dan harmonis yang terjalin hingga
saat ini.
Dari hasil
cerita dan gerak gaya yang dilakukan untuk mencari bagaimana cara untuk
mendidikan anak-anak papua yang yang hidup di hutan belantara yang jauh dan
sulit untuk di jangkau, walaupun mereka akan sulit untuk bisa membaca dan
menulis, tetapi kegiatan yang mengajak untuk mereka bisa mengenal tulisan dn
angka adalah sangat penting, sebab dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti
inilah mereka akan suka untuk belajar.
Salam
hormat
Juzak. J.
Sundoy
No comments:
Post a Comment